Pages

Jumat, 20 Juli 2012

DESAIN PRODUKSI

Desain Produksi
oleh Chandra Tanzil
Banyak yang berpendapat bahwa untuk memproduksi film dokumenter, yang diperlukan hanyalah kamera, stok kaset dan langsung pergi shooting. Ini pendapat yang salah, karena bahkan para pembuat dokumenter yang menekuni gaya cinéma vérité sekalipun, persiapan shooting mereka tidak sesederhana itu. Dalam sebuah dokumenter naratif seperti yang sudah dibahas pada bab-bab sebelumnya, sebuah produksi film dokumenter tidaklah sesederhana itu. Masalah utama yang dihadapi oleh hampir sebagian besar pembuat film dokumenter adalah uang atau dana produksi. Walaupun mungkin sang pembuat film sudah memiliki kamera sendiri dan memiliki stok kaset yang memadai, namun tetap saja dibutuhkan sejumlah dana untuk keperluan lain seperti transportasi, akomodasi dan konsumsi. Belum lagi kebutuhan untuk tahap pasca produksi.


Kalaupun sang pembuat film sudah memiliki sejumlah dana, ia harus memiliki perhitungan yang cermat bagaimana filmnya bisa diproduksi, sesuai dengan dana yang dimilikinya. Dengan kata lain, bagaimana menyelesaikan filmnya dengan sejumlah dana terbatas yang ada. Karena pada hakikatnya, sebuah ide yang brilian tidak akan berarti apa-apa bila film tersebut tidak pernah selesai dan tidak bisa ditonton. Nah, untuk itu, pembuat film harus menempuh tahapan yang akan diuraikan dalam bab ini, yaitu membuat desain produksi.

Desain produksi berawal dari stroryline dan treatment yang telah dikerjakan oleh pembuat film pada tahapan yang terdahulu. Jadi dapat dikatakan bahwa alur cerita dan treatment merupakan dasar bagi produser untuk membuat desain produksi seperti apa yang tepat untuk bisa merealisasikan ide film dokumenternya. Pada tahap ini, sang produser harus menterjemahkan cerita yang ada di kertas menjadi panduan yang sangat menentukan jalannya sebuah produksi. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan penguasaan minimal mengenai perlengkapan produksi seperti kamera dan audio, peralatan editing, akses terhadap sumber informasi seperti perpustakaan umum serta perpustakaan stasiun televisi, beberapa hal yang berkaitan dengan kontrak dan kesepakatan kerja dengan pihak-pihak yang akan terkait dalam pembuatan filmnya, daftar orang-orang yang potensial menjadi kru serta sarana penunjang produksi di lokasi tempat produksi berlangsung.


Breakdown Shot

Langkah awal dalam membuat desain produksi adalah memecah lebih detail alur cerita yang sudah dibuat berkaitan dengan topik dari film dokumenter yang akan diproduksi. Harus disadari bahwa alur cerita yang kita bangun dari topik yang akan menjadi fokus film dokumenter, hanyalah gambaran umum berupa garis besar bagaimana film dokumenter tersebut akan menyampaikan pesannya. Gambaran ini bisanya hanya berupa panduan kasar. Padahal, dalam tahap produksi, diperlukan poin-poin yang lebih terperinci sehingga bisa diperoleh daftar yang lebih konkret yang bisa digunakan sebagai acuan untuk setiap tahapan produksi. Oleh karenanya pembuat film dokumenter harus membedah alur cerita tersebut dan mewujudkannya kedalam apa yang disebut sebagai breakdown shot atau shot list.

Cara yang paling mudah untuk membuat breakdown shot adalah dengan memecah setiap kalimat dalam setiap bagian paragraf dalam alur cerita menjadi elemen yang lebih kecil yaitu; shot. Setiap kalimat bisa mewakili satu pengadeganan atau shot atau beberapa pengadeganan. Dengan cara ini, produser atau sutradara berusaha memvisualkan gagasan filmnya tetapi masih dalam bentuk tulisan.
Langkah untuk memvisualkan ide atau gagasan-gagasan dari film dokumenter ini adalah upaya untuk membuat perincian mengenai gambar atau audio seperti apa yang sebenarnya ingin direkam. Bagi seorang produser, hal ini mutlak diperlukan sebagai acuan untuk melakukan tahapan-tahapan berikut dalam membuat desain produksi filmnya. Sementara untuk seorang sutradara, shot list ini menjadi media komunikasinya dengan juru kamera maupun perekam suara atau anggota kru lainnya. Karena pada hakikatnya, seperti yang telah di jelaskan di atas, susunan kalimat dalam alur cerita masih bersifat abstrak dan bersifat multiinterpertasi. Sementara pada saat produksi berlangsung, kameraman ataupun anggota kru yang lainnya, harus memiliki persepsi yang sama tentang gambar dan suara seperti apa yang ingin direkam untuk keperluan film ini. Di bawah ini, akan ditampilkan contoh bagaimana sebuah alur cerita bisa di pecah-pecah menjadi breakdown shot.

ALUR CERITA Hutanku Milik Pengusaha Jakarta
Film ini akan dibuka dengan visual yang memperlihatkan susasana pagi desa Kersik Tuo di Kabupaten Sungai Penuh, Jambi. Rumah-rumah warga Kersik Tuo tampak berjajar di di tepi hutan. Tampak kabut masih mengambang di antara kerimbunan pepohonan di hutan tropis yang lebat. Aktivitas seorang ibu sedang memasak di dapur rumah kayu khas Jambi yang dindingnnya sudah bolong di sana-sini. Ibu tersebut memasak menggunakan tungku dan kayu bakar. Saat ibu tersebut mengangkat masakannya, tampak ia terhalang oleh sebuah pilar beton yang berdiri tegak di tengah-tengah dapurnya. Pilar tersebut terbuat dari beton cor bertuliskan: Milik Pemerintah, dilarang memindahkan. Peraturan Menteri Kehutanan No XXX. KM 32.

Judul: Hutanku milik pengusaha Jakarta
Para petani sedang bekerja di sawah. Serombongan laki-laki berjalan melalui pematang sawah menuju batas hutan. Semua lelaki tersebut, termasuk Tekik, memanggul keranjang rotan di punggungnnya serta parang melintang disisipkan di pinggangnnya. Sewaktu memasuki hutan, rombongan ini berjalan berjajar melalui jalan setap sempit di antara pepohonan. Semakin jauh ke dalam hutan, perjalanan harus dibantu dengan parang, karena rapatnya tumbuhan hutan tropis yang menghadang. Sepanjang perjalanan tersebut, suara Tekik akan muncul menceritakan bagaimana ia secara turun-temurun telah tinggal di dusun Kersik Tuo sejak kakek buyutnya. Mereka memang sudah terbiasa masuk ke hutan untuk mencari getah damar. Di sebuah pundung bukit yang datar, rombongan ini beristirahat sambil menikamti minum dan rokok. Tekik bicara ke kamera menceritakan bagaimana saat ini mencari damar sudah semakin dulit dibanding dahulu, utamanya karena kegiatan mereka untuk masuk hutan kini dihalang-halangi oleh polisi hutan. Para pencari damar terlibat pembicaraan tentang penangkapan warga desa mereka yang kini sudah hampir satu bulan mendekam di penjara Polsek di Kota kecamatan.

BREAKDOWN SHOT
1. Susasana pagi desa Kersik Tuo di Kabupaten Sungai Penuh, Jambi.
2. Rumah-rumah warga Kersik Tuo tampak berjajar di di tepi hutan.
3. Kabut yang masih mengambang diantara kerimbunan pepohonan di hutan tropis yang lebat.
4. Suasana di dapur rumah kayu khas Jambi yang dindingnya sudah bolong di sana-sini.
5. Ibu memasak menggunakan tungku dan kayu bakar.
6. Saat ibu tersebut mengangkat masakannya, tampak ia terhalang oleh sebuah pilar beton yang berdiri tegak di tengah-tengah dapurnya.
7. Pilar tersebut terbuat dari beton cor bertuliskan: Milik Pemerintah, dilarang memindahkan. Peraturan Menteri Kehutanan No XXX. KM 32.
8. Para petani sedang bekerja di sawah.
9. Serombongan laki-laki berjalan melalui pematang sawah menuju batas hutan.
10. Tekik, memanggul keranjang rotan di punggungnnya serta parang melintang disisipkan di pinggangnya.
11. Pencari damar berjalan berjajar melalui jalan setap sempit di antara pepohonan.
12. Pencari damar menggunakan parang, karena rapatnya tumbuhan hutan tropis yang menghadang.
13. Wawancara Tekik menceritakan bagaimana ia secara turun-temurun telah tinggal di dusun Kersik Tuo sejak kakek buyutnya. Mereka sudah terbiasa masuk ke hutan untuk mencari getah damar.
14. Pemandangan dari punggung bukit ke lembah di sekelilingnnya
15. Para pencari damar beristirahat sambil menikmati minum dan rokok.
16. Tekik bicara ke arah kamera menceritakan bagaimana saat ini mencari damar sudah semakin sulit dibanding dahulu, utamanya karena kegiatan mereka untuk masuk hutan kini dihalang-halangi oleh polisi hutan.
17. Para pencari damar terlibat pembicaraan tentang penangkapan warga desa merka yang kini sudah hampir satu bulan mendekam di penjara Polsek di Kota kecamatan.
Penting untuk mendiskusikan alur cerita dan shot list dengan para kru pada tahap praproduksi. Utamanya adalah agar kru memiliki gambaran seperti apa alur cerita tersebut akan disajikan. Pada saat ini, mereka yang akan terlibat dalam pembuatan film, khususnya juru kamera dan perekam suara, memahami dengan style seperti apa pengambilan gambar harus dilakukan. Hal ini penting karena akan berkaitan dengan perlengkapan kamera dan audio seperti apa yang dibutuhkan dan cocok untuk desain produksi film tersebut.


Jadwal Shooting

Setelah membuat daftar shot, langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah mengelompokan shot-shot tersebut dalam satuan waktu dan tempat yang kira-kira sama. Jadi dalam pengambilan gambar, tidaklah dilakukan secara urut sesuai dengan alur cerita, tetapi bisa melompat-lompat. Utamakan pengambilan gambar berdasarkan tempat atau lokasi agar kru tidak harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang sebelumnya sudah mereka kunjungi. Hal ini adalah untuk menghemat waktu dan tidak merepotkan subjek yang akan diminta terlibat dalam proses tersebut. Juga alokasikan shot-shot berdasarkan waktu yang meungkinkan kita bisa mendapat gambar secara maksimal ke dalam apa yang kita sebut sebagai Jadwal Shooting.
Secara umum, jadwal shooting merupakan panduan rencana shooting kita. Secara teoritis, ia harus dibuat berdasarkan pertimbangan atas segala persoalan yang akan dihadapi semasa shooting dan mencari pemecahannya yang paling sederhana, praktis dan ekonomis. Jadwal tersebut memberi tahu kita apa yang harus direkam, kapan dan di mana harus dilakukan. Untuk itu, pembuat film juga harus mempertimbangkan beberapa hal berikut agar jadwal shooting bisa disusun secara baik.
• Perhatikan kondisi cuaca di sekitar lokasi shooting
• Pastikan jadwal kesibukan para subjek yang akan terlibat
• Perhitungkan jarak yang harus ditempuh untuk mencapai lokasi
• Catat apakah ada hari libur lokal atau nasional selama shooting berlangsung
• Cari tahu apakah ada acara atau upacara yang berlangsung selama masa shooting berlangsung
Berdasarkan data-data ini, mulailah menyusun jadwal shooting. Usahaan untuk menempatkan shot-shot yang ringan atau tidak memerlukan keterlibatan subjek yang banyak di hari-hari pertama. Ingat, kru baru saja tiba di lokasi sehingga di hari-hari pertama diperlukan penyesuaian untuk banyak hal serta waktu untuk beristirahat setelah melalui perjalanan panjang yang melelahkan. Jadi menempatkan pengambilan gambar suasana kampung pada hari pertama cukup efektif karena tidak ada tekanan yang tinggi untuk shot ini, selain juga tidak tergantung pada jadwal subjek. Keuntungan lain adalah pengambilan suasana kampung di hari pertama shooting membuat kru harus berjalan kian kemari seputar kampung, dengan demikian kru bisa mendapat gambaran yang lebih menyeluruh tentang kondisi geografis dan sosial dari kampung. Selain itu, hilir-mudiknya kru sekaligus memberitahu penduduk desa akan keberadaan kegiatan shooting yang kita lakukan. Hal ini akan menguntungkan kegiatan produksi di kelak kemudian hari, karena seluruh penduduk desa jadi tahu keberadaan kita dan sewaktu-waktu kita memerlukan kehadiran mereka dalam shot kita, mereka tidak lagi bertanya-tanya siapa dan untuk apa kita melakukan shooting. Manfaatkanlah hari-hari pertama shooting untuk membuat janji dengan seluruh pihak yang akan terlibat dalam pengambilan gambar, sesuai dengan jadwal yang sudah disusun.

Usahakan untuk membuat jadwal yang terperinci namun sangat fleksibel sehingga apabila dalam jadwal seharusnya kita mewawancarai subjek A, namun karena halangan, beliau tidak bisa memenuhi jadwal, kru bisa mengalihkan ke shot-shot berkutnya tanpa harus berpindah tempat yang jauh. Juga selalu sediakan waktu diakhir masa shooting untuk melakukan pengamabilan gambar yang belum sempat dilakukan sesuai dengan jadwal di hari-hari sebelumnya. Dalam produksi film dokumenter, anda akan selalu menjumpai hal-hal menarik yang sebelumnya tidak sempat tergali sewaktu melakukan riset. Maka akan sangat berguna bila selalu tersedia waktu dalam jadwal kerja untuk melakukan pick-up shots.

JADWAL SHOOTING Hutanku Milik Pengusaha Jakarta
Senin
06:30 - 08:00
08:00 - 18:00
Jakarta ke Padang
Padang ke Kersik Tuo
Selasa
06:00 - 12:00



15:00 - 18:00
Susasana pagi desa Kersik Tuo
Rumah-rumah warga desa
Kabut di kerimbunan pepohonan di hutan
Petani di sawah
Mengikuti polisi hutan berpatroli
Rabu
06:30 - 20:00
Ke hutan mencari damar bersama Tekik dan warga desa
Aktivitas sewaktu jalan menembus hutan
Dialog selama istirahat, gali pendapat mereka tentang penangkapan oleh polisi hutan
Suasana kerimbunan hutan
Kegiatan memetik damar
Kegiatan berburu untuk makan siang
Rombongan tiba kembali di desa malam hari
Tekik kembali ke rumah dan menikmati makan malam bersama istrinya



wawancara dengan Tekik & dialog warga desa sewakti istirahat
Kamis
06:00 - 08:00
Ibu memasak
Wawancara Ibu Tekik
Wawancara sambil ibu memasak


Material Penunjang (Archive Material)
Film dokumenter seringkali berkaitan dengan material-material penunjang yang sudah ada sebelumnya dan berperan penting dalam struktur film tersebiut. Material seperti koleksi foto yang berkaitan dengan tema film, koleksi film, video, musik atau rekaman suara tentang topik yang akan menjadi fokus film, tidak jarang merupakan elemen penting dalam struktur cerita film dokumenter yang akan diproduksi.

Kalaupun material penunjang tersebut tidak langsung berperan dalam struktur cerita, seringkali footage material ini menjadi acuan penting bagi sutradara untuk melakukan pengambilan gambar, ia menjadi semacam referensi. Itu sebabnya, dalam tahap riset yang telah diulas dalam bab terdahulu, pembuat film juga harus melakukan riset yang berkaitan dengan material penunjang ini. Biasanya, apabila memang diperlukan sebagai elemen atau bagian dalam struktur cerita, material penunjang berupa foto, film dan video footage ataupun rekaman baik suara maupun musik, akan ditampilkan dalam alur cerita. Berdasarkan catatan dari alur cerita tersebut, produser harus membuat daftar footage seperti apa yang diperlukan dan ke mana harus pergi mencari. Itu sebabnya, sebelum bujet dibuat, seorang produser haruslah memiliki data yang lengkap mengenai footage yang diperlukan serta keberadaannya.

Pastikan sejak tahap desain produksi, keberadaan dari beraneka footage yang diperlukan dalam pembuatan film. Hal ini akan sangat berkaitan dengan kebutuhan dana yang harus disediakan. Dari pengalaman produksi yang telah dilakukan oleh penulis, seringkali penggunaan footage semacam ini tidaklah gratis dan mudah diakses. Berikut adalah ragam penggunaan footage dan kemana kita harus mencari serta izin seperti apa yang harus dimiliki pembuat film:

Album foto keluarga; kelihatannya arsip macam ini paling mudah diakses. Tetapi, pastikan izin sudah dikantongi oleh pembuat film dari pihak keluarga yang berwenang. Jangan hanya puas dengan izin lisan. Buatlah izin penggunaan foto keluarga tersebut secara tertulis yang ditandatangani atau cap jempol dari pihak keluarga, kecuali orang yang ada dalam foto tersebut sudah menjadi domain publik seperti tokoh sejarah, artis terkenal, pejabat negara serta selebriti lainnya.
Foto/rekaman film dan audio dari masa lalu; berupa foto yang memperlihatkan situasi yang berkaitan dengan kejadian, tempat atau situs tertentu, gaya berpakaian hingga model kendaraan pada masa lalu. Arsip seperti ini bisa didapat di beberapa lembaga perpustakaan seperti Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan KITLV, dan perpustakaan di berbagai stasiun televisi dan RRI. Lembaga arsip seperti ini biasanya sudah biasa melayani kebutuhan akan foto dan film dan audio dari masa lalu dan masing-masing sudah memiliki aturan baku bagaimana cara pemanfaatannya.
Musik; untuk kasus-kasus tertentu, musik seringkali memainkan peran penting sebagai elemen utama dalam sebuah film dokumenter. Dalam hal ini, musik bukan sekadar ilustrasi, akan tetapi menjadi fokus utama dari film yang diproduksi. Sebagai contoh sebuah film yang mengetengahkan Konperensi Pemuda tahun 1928, tentunya memerlukan musik lagu Indonesia Raya yang dibawakan langsung oleh Wage Rudolf Supratman. Ataupun sebuah film yang mengikuti jalan hidup keluarga Koeswoyo, tentunya wajib menampilkan lagu-lagu Koes Plus dari rekaman aslinya. Untuk keperluan film seperti ini, pembuat film haruslah memperhatikan izin penayangan musik yang digunakan. Pembuat film bisa mencoba menghubungi pengarang lagu dan musik aslinya serta penyanyinya, atau bisa mencoba menghubungi agen yang mewakili penggunaan hak cipta dari musik tersebut seperti lembaga Karya Cipta Indonesia (KCI).

Sekali lagi penting sekali memastikan seluruh daftar footage dan material arsip penunjang lainnya dilengkapi sebelum membuat bujet. Jangan sampai pembuat film baru menyadari bahwa ia harus mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit dari bujetnya yang terbatas, untuk keperluan pengadaan footage penting yang tidak dianggarkan sebelumnya. Kalaupun material arsip tersebut bisa digunakan secara gratis, pembuat film harus sudah memperhitungkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menggandakan material tersebut. Ingat, material aslinya seringkali tidak bisa dibawa oleh pembuat film, jadi sebuah foto harus direproduksi atau di-scan, material film, video atau musik harus di dubbing, mungkin ke dalam format yang berbeda dengan format aslinya. Belum lagi biaya transportasi dan fee periset yang ditugaskan untuk mencari material arsip tersebut. Ini semua berkaitan dengan nilai rupiah yang akan berpengaruh terhadap bujet produksi.


Menentukan Alat Kerja
Setelah pembuat film memiliki shot list dan tahu betul bagaimana alur cerita akan disajikan. Maka tahap berikutnya adalah menentukan alat kerja apa yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Ada tiga peralatan utama dalam produksi film dokumenter:
Kamera dan Kelengkapannya
Karena dalam produksi dokumenter pembuat film harus seringkali melakukan shoting secara handheld (lihat bagian daftar istilah), kamera yang ideal haruslah memiliki berat yang cukup untuk menghasilkan kestabilan saat dioperasikan tanpa tripod. Kamera-kamera yang berukuran kecil biasanya terlalu ringan untuk bisa menghasilkan kestabilan yang baik pada saat dioperasikan tanpa tripod. Selain itu, karena sebaiknya memiliki viewfinder yang berada di samping badan kamera, atau memiliki layar pengontrol gambar dengan resolusi yang cukup tinggi sehingga bisa dijadikan acuan seperti apa gambar yang direkam pada pita video.
Walaupun pada kenyataanya dalam sebuah produksi dokumenter pengoperasikan kamera banyak sekali dilakukan secara handheld, penggunaan tripod adalah wajib hukumnya. Jadi selalu siapkan dan gunakan semaksimal mungkin untuk menghasilkan gambar yang stabil. Pilih tripod yang ringan sehingga mudah dibawa. Biasanya, tripod yang ringan memiliki tingkat kelembutan ballhead yang kurang baik. Akan tetapi kelemahan ini bisa diletakan pada prioritas kedua, kerena pada kenyataannya, penggunaan panning dan tilting dalam film dokumenter tidaklah sesering dibanding pengambilan gambar secara statis maupun handheld.

Perhatikan spesifikasi lensa dari kamera yang akan digunakan. Kamera video yang masuk kategori prosumer (kualitas profesional dengan body kamera rumahan), biasanya menggunakan fixed lens, artinya tidak bisa diganti-ganti. Maka pembuat film haruslah melengkapi kameranya dengan converter untuk memberikan efek lebar (wide lens) dan efek untuk pengambilan objek yang berada jauh dari posisi kamera (tele lens). Seperti dijelaskan diatas, karena sifat lensanya yang fixed, maka lensa tambahan tersebut bukanlah wide lens atau tele lens yang sejatinya. Jadi lensa tambahan tersebut hanyalah lensa yang bisa memberikan efek lebih lebar dan lebih jauh. Namun dari pengalaman penulis, kedua alat tambahan ini cukup efektif untuk mengatasi kendala di lapangan, khususnya untuk produksi dengan bujet terbatas.

Wide lens sangat diperlukan karena shooting akan banyak menemui kendala pada saat dilakukan di dalam ruang sempit seperti di dalam rumah, lorong-lorong dan untuk memperlihatkan massa dalam jumlah banyak. Sedang tele lens, walaupun penggunaannya tidak sesering wide lens, terkadang diperlukan untuk mengambil subjek/objek yang berada jauh, atau kehadiran kamera dalam jarak dekat bisa mengganggu emosi subjek yang sedang diambil gambarnya.

Pilih kamera yang bisa dioperasikan secara manual sepenuhnya. Kemajuan teknologi pada produk kamera video, membuat kamera-kamera video saat ini dilengkapi dengan kecanggihan untuk bisa dioperasikan secara otomatis. Hal ini sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan penggunnya yang belum terbiasa mengoperasikan kemera video. Akan tetapi operasi pada moda otomatis ini sebenarnya banyak merugikan karena pembuat film kehilangan kontrol terhadap gambar seperti apa yang ingin dihasilkanya.

Audio dan Kelengkapannya
Banyak pembuat film pemula tidak memperhatikan betapa pentingnya perlengkapan perekaman suara yang harus dimilikinya. Ketidaktahuan ini akan mendatangkan bencana saat duduk di ruang editing. Sebuah adegan yang dramatis dengan kualitas gambar yang prima, atau sebuah pernyataan yang sangat kontroversial dari tokoh dalam film dokumenter, tidak akan berarti apabila suaranya tidak bisa didengar dengan jelas oleh penontonnya.

Itu sebabnya, mempersipakan kelengkapan alat perekam suara sama pentingnya dengan kamera. Beruntunglah, kamera video yang ada saat ini telah dilengkapi dengan kemampuan mereka suara yang cukup prima. Hanya saja, mic yang biasaya melekat pada kamera memiliki keterbatasan yang cukup besar. Mic kamera tersebut tidak bisa diandalkan untuk merekam sebuah wawancara karena ia bersifat omni, jadi suara yang paling dekat akan terdengar paling jelas, sementara tidak mungkin kita menodongkan kamera di depan hidung subjek yang sedang diwawancara. Cara yang paling mudah adalah menyediakan clip-on microphone, sebaiknya yang berteknologi tanpa kabel sehingga subjek yang menggunakan clip-on bisa bebas bergerak, bahkan mungkin lupa bahwa ia sedang dipasangi alat perekam suara.

Dalam kenyataannya, tidak selalu tersedia waktu yang cukup untuk melekatkan clip-on mic pada subjek yang hendak kita wawancara, atau terkadang aktivitas pemasangan clip-on mic bisa mengganggu mood subjek yang hendak diwawancara. Itu sebanya, adalah baik sekali apabila produksi juga dilengkapi dengan boom mic. Microphone yang khusus didesain untuk keperluan boom mic memang cukup mahal. Namun, beberapa jenis kamera telah dilengkapi dengan microphone independen yang kualitasnya cukup baik. Nah untuk jenis kamera seperti ini, cukup sediakan kabel tambahan yang panjanganya sekitar 5-10 meter serta fish pool, dan mic kamerapun bisa diperlakukan sebagai boom mic.

Dalam setiap produksi, keberadaan headphone juga wajib hukumnya. Kalau dalam setiap pengambilan gambar, kamerawan harus memonitor gambar yang dihasilkan, demikian pula pada perekaman suara. Untuk memastikan kualitas suara yang direkam, diperluan headphone yang bersifat flat (hindari penggunaan headphone yang biasa digunakan untuk mendengarkan musik karena sudah tidak lagi menghasilkan suara yang asli). Penggunaan headphone ini adalah untuk memastikan suara subjek terdengar lebih dominan dari suara di sekitarnya, terutama pada saat wawancara dilakukan di tempat ramai seperti di pasar, di dalam kendaraan yang sedang berjalan, atau di tengah kerumunan massa. Hal yang juga perlu diperhatikan adalah daya baterai pada clip-on mic atau boom mic akan sangat mempengaruhi kualitas rekaman yang dihasilkan. Itu sebabnya, selama wawancara, gunakan headphone untuk mengontrol hasil rekaman.
Pencahayaan
Soal pencahayaan juga akan mendatangkan bencana selama shooting apabila tidak dipersiapkan. Masalah pencahayaan ini tidak hanya terjadi sewaktu shooting dilakukan pada malam hari. Pada siang hari, apabila shooting dilakukan di dalam ruangan yang tidak memiliki jendela yang cukup banyak, juga akan menjadi masalah. Itu sebabnya, selama melakukan riset visual, perhatikan juga keberadaan cahaya di lokasi-lokasi di mana shooting akan dilakukan. Pengadaan pencahayaan sebagai bagian dari perlengkapan produksi akan sangat membantu. Namun karena sifat produksi dokumenter yang mobil dan hanya terdiri dari sedikit kru, sebaiknya pilih pencahayaan yang kecil dan penggunaan listriknya minimum.

Apabila bujet yang tersedia tidak memadai untuk menyewa peralatan pencahayaan, tidak berarti shooting tidak bisa dilakukan. Ada beberapa cara untuk mengatasi kendala ini. Hal yang pertama yagn tidak boleh dilupakan adalah selalu membawa reflektor. Inilah adalah peralatan yang paling mudah, murah dan fleksibel untuk membantu menambah pencahayaan di ruangan yang suram. Namun reflektor hanya bekerja apabila ada sumber cahaya yang ukup kuat untuk dipantulkan ke arah subjek yang hendak kita rekam. Hal kedua adalah sediakan lampu darurat (emergency lamp) atau lampu sorot dengan kekuatan tinggi (minimal 1juta candle light). Penggunaan sumber cahaya bertenaga baterai ini akan cukup efektif bila dipadukan dengan reflektor.

Cara yang lain adalah mempersipakan sumber cahaya non-listrik seperti lampu petromaks, obor atau api unggun. Keungulan dari sederet peralatan bantu yang terakhir ini adalah ia sekagus bisa menjadi elemen estetis sehingga tidak perlu ragu menempatkannya in frame bersama subjek yang direkam. Peralatan bantu pencahayaan apa yang paling cocok untuk produksi, sangat ditentukan oleh informasi yang berhasil dihimpun selama riset visual dilakukan. Rencanakan apakah memang harus melakukan shooting di malam hari atau ruangan yang kurang memiliki sumber cahaya yang memadai. Juga pastikan sumber listrik yang ada di lokasi shooting, apakah ada sumber listrik? Berapa besar daya yang bisa digunakan? Karena di pedesaan biasaya listrik yang tersedia hanya dalam jumlah daya yang kecil, biasanya hanya 450 watt, sehingga penggunaan peralatan pencahayaan yang mengkonsumsi listrik dalam jumlah besar seringkali tidak dimungkinkan. Apakah perlu menyediakan generator? Seberapa besar daya generator yang dibutuhkan? Mungkinkah menyewa generator di lokasi terdekat tanpa harus membawanya dari kota asal? Berapa jumlah baterai yang kamu butuhkan? Kalaupun bisa menggunakan lampu petromaks, apakah harus membeli? Bisakah disewa di lokasi shooting? Apakah minyak tanah spiritus dan kaos lampunya tersedia? Ke mana harus mencari obor dan kayu bakar untuk api unggun? Hal-hal seperti itu haruslah sudah direncanakan sebelum menyusun bujet, karena walau nilainya kecil, akan tetapi kalau kuantitasnya banyak dan sering, jelas akan mempengaruhi bujet serta kelancaran produksi.

Stok Kaset
Salah satu hal yang harus dilakukan oleh seorang pembuat dokumenter, apakah ia seorang produser ataupun sutradara pada tahap ini adalah membuat perkiraan berapa jumlah kaset yang harus di bawa selama shoting. Banyaknya kaset yang harus disediakan untuk sebuah produksi sangat bergantung pada tipe shooting yang akan dilakukan. Kalau film telah direncanakan dalam sebuah alur cerita yang didukung riset isi dan riset visual yang cukup mendalam dan telah memiliki breakdown shot list yang apik, shooting rasionya akan berkisar antara 10:1, artinya anda akan shooting selama 10 jam untuk program sepanjang 1 jam. Jadi kalau shooting menggunakan kaset miniDV berdurasi rekam sepanjang 1 jam, dibutuhkan 10 kaset untuk menghasilkan program sepanjang 1 jam.

Namun juga perlu diperhatikan hal-hal seperti wawancara dan liputan acara atau kegiatan tertentu. Untuk sebuah wawancara, rasio umumnya adalah minimum satu jam untuk satu subjek. Sedang untuk merekam acara atau kegiatan, sediakan tiga sampai empat jam kaset per harinya Coba kolaborasikan rasio shooting dengan jadwal shooting yang direncanakan. Perhatikan apakah di hari-hari tertentu ada acara atau kegiatan yang harus diliput. Pastikan lama dari acara tersebut dan berapa banyak orang yang akan terlibat. Rencanakan juga siapa saja subjek yang akan diwawancara. Dari kolaborasi rencana sho shooting ting inilah tim produksi bisa memperkirakan berapa jumlah kaset yang diperlukan. Ini penting sekali terutama apabila shooting di lakukan di daerah yang cukup terpencil di mana penambahan stok kaset secara tiba-tiba tidak dimungkinkan. Kalaupun ada, harganya pasti berlipat kali dari harga yang bisa di dapatkan di kota-kota besar. Ini tentunya akan menjadi beban bagi bujet produksi film di kemudian hari.

Pemilihan peralatan kerja hendaknya juga disesuaikan dengan kondisi yang akan di hadapi pembuat film di lapangan. Penggunan kamera berukuran besar, otomatis akan menyulitkan pengambilan gambar di tengah keramaian, apalagi pengambilan gambar yang berkaitan dengan hal-hal yang sensitif dan agak bersifat investigatif. Keberadaan kamera berukuran besar pasti akan tampil mencolok dan terkesan intimidatif terhadap komunitas yang belum terbiasa dengan kegiatan shooting, terutama dikalangan anak-anak. Oleh karenannya patut dipertimbangkan penggunaan kamera berukuran kecil untuk keperluan-keperluan khusus. Namun harus disadari oleh pembuat film, kamera berukuran kecil cenderung memiliki kualitas yang kurang dibanding versi yang profesional yang berukuran besar. Nah, pembuat film harus pandai-pandai memilih kemera yang sesuai dengan kondisi di lapangan dan kemampuan dari kamera tersebut. (lihat bab teknis mengenai jenis-jenis kamera, keunggulan dan kelemahannya).


Perjalanan & Akomodasi
Dalam mengatur sebuah perjalan, salah satu aturan umumnya adalah; bawa bagasi seminim mungkin sehingga tidak perlu repot dalam nikmati perjalan. Hal ini tidak berlaku apabila produksi film yang akan dilakukan, harus menempuh perjalanan jauh ke wilayah terpencil. Justru semakin baik persiapan yang dilakukan, semakin banyak barang yang harus dibawa. Cara yang paling esensial adalah mengurangi perlengkapan produksi hingga hal-hal yang paling inti, namun tetap mempersiapkan diri akan kemungkinan terburuk yang akan dihadapi.

Untuk itu, pada tahap praproduksi biasanya produser dan sutradara akan meninjau lokasi shooting, yang sering kali disebut recce (baca: reki). Selain melakukan riset lokasi dan mengurus perizinan, produser juga akan mendata penginapan yang bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan kru. Jumlah kru akan sangat berpengaruh terhadap kebutuhan akomodasi. Apabila kru hanya terdiri dari dua atau tiga orang, urusan ini akan menjadi lebih mudah, apalagi bila harus berhadapan dengan lokasi yang jauh dan terpencil. Untuk kasus seperti itu, maka menumpang di rumah subjek atau di rumah kepala dusun adalah cara yang paling efektif dan ekonomis. Ekonomis karena kru tidak perlu menghabiskan waktu di jalan setiap harinya untuk menuju dan pulang dari lokasi shioting. Juga tidak diperlukan kendaraan yang harus disewa khusus setiap hari secara terus-menerus selama shioting berlangsung. Efektif karena dengan menginap di rumah subjek atau di dalam dusun tempat shioting berlangsung, interaksi kru dengan subjek dan orang-orang lokal yang terlibat dalam produksi menjadi sangat intensif dan akan sangat membantu dalam membangun rapport atau hubungan baik dengan subjek dan orang-orang lokal. Namun, walau seringkali kita bisa menginap secara gratis di rumah subjek atau tokoh di lokasi shioting, persipakan bujet untuk pengadaan hal-hal yang bisa meringankan tuan rumah, seperti bawa selalu kopi, the, dan gula dalam jumlah tiga hingga empat kali lipat dari kebutuhan seluruh kru. Pastikan untuk memberikan uang belanja yang lebih dari cukup kepada tuan rumah sehinga mereka bisa menyediakan makan tanpa harus membebani kondisi keuangan mereka. Selain itu yang juga tak kalah penting, sediakan peralatan tidur bagi kru sehingga semua kru bisa beristirahat dengan nyaman selama shioting berlangsung.

Apabila menginap dirumah subjek tidak memungkinkan, karena alasan kenyamanan kru dan memang tersedia penginapan yang relatif dekat dengan lokasi shooting, pastikan kondisi dan harga yang harus dibayar untuk biaya penginapan pada saat melakukan recce. Cari penginapan yang sesuai dengan bujet produksi. Yang paling penting untuk diperhatikan adalah kenyamanan kru untuk bisa beristirahat dengan cukup, apalagi bila shooting harus berlangsung selama berhari-hari.

Pastikan juga transportasi lokal yang dibutuhkan. Untuk kru yang cukup besar, menyewa mobil mungkin akan menjadi lebih efesien dan praktis. Namun, untuk kru yang hanya berjumlah dua orang, mungkin menggunakan kendaraan umum masih bisa di lakukan, terutama bila bujet yang tersedia sangat minim. Untuk beberapa shot tertentu, mungkin perlu menyewa sepeda motor atau alat transportasi lokal lainnya seperti perahu, sepeda, delman, dll.

Apabila shoting dilakukan di wilayah yang jauh, rencana perjalanan dan penginapan merupakan hal yang harus dipersiapkan sebaik mungkin. Perlukah menggunakan pesawat udara untuk menuju lokasi? Bila perlu, coba riset berapa biaya yang dibutuhkan untuk perjalanan pulang-pergi. Jangan lupa mendata biaya-biaya lain yang terkait dengan perjalanan seperti transportasi menuju bandara, pajak bandara, biaya kelebihan bagasi, dan biaya makan selama di perjalanan.

Pada saat melakukan recce, juga perlu dicek keberadaan rumah makan dan toko kebutuhan sehari-hari dari kru. Jangan sungkan-sungkan memfotokopi daftar menu dari setiap rumah makan yang ada termasuk harga-harganya. Ini sangat perlu untuk memperkirakan biaya yang harus disiapkan untuk keperluan makan para kru. Di beberapa lokasi tertentu, persoalan makan bisa jadi persoalan yang pelik untuk dipenuhi. Belum lagi ada persoalan halal dan haram bagi beberapa kru.

Sebenarnya ada beberapa cara dalam membuat desain produksi terutama yang berkaitan dengan makan dan akomodasi. Cara yang pertama adalah produser mengatur dan mengadakan seluruh kebutuhan kru akan makan dan akomodasi. Cara ini cukup murah, karena banyak hal bisa dibagi atau dilakukan secara bersama, namun cukup merepotkan mengingat selera dan banyak pertimbangan lain dari masing-masing kru akan kebutuhan makan (biasanya untuk produksi yang melibatkan banyak kru, misalnya lebih dari 6 orang). Cara lain adalah dengan menentukan besaran per diem dari setiap kru di awal pra produksi. Per diem adalah biaya perkepala meliputi makan serta kebutuhan pribadi lain setiap harinya dari masing-masing kru. Setelah besaran biaya ini disetujui oleh setiap kru, produser akan membagikan sejumlah uang tersebut kepada setiap kru, dan masing-masing harus mengelola sendiri kebutuhan masing-masing. Jadi, walaupun kru akan makan bersama, namun diakhir acara makan, masing-masing harus membayar sendiri apa yang mereka makan. Cara seperti ini akan memudahkan produser, karena tidak harus repot mengurus bon, nota atau kuitansi untuk setiap kali terjadi transaksi. Karena untuk keperluan pertanggung jawaban keuangan, produser sudah memiliki tanda terima dari masing-masing kru sewaktu membagi uang per diem di awal produksi.

Jadwal Produksi dan Pascaproduksi

Rencanakan shooting sematang mungkin. Cara yang paling mudah adalah coba perhatikan kembali daftar breakdown yang telah dimiliki, kemudian perkirakan shot-shot mana yang bisa dilakukan pada waktu yang sama, di lokasi yang sama dan yang melibatkan subjek-subjek yang kurang lebih sama. Alokasikan shot-shot tersebut ke dalam waktu yang sebisa mungkin bersamaan. Jadi, produksi bisa menjadi lebih efisien tanpa harus bolak-balik dari satu lokasi ke lokasi berikutnya. Jadwal produksi ini juga akan memudahkan seluruh kru memahami apa rencana kerja sepanjang shooting berlangsung, sehingga setiap orang bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin sesuai dengan tugas masing-masing.

Membuat jadwal shooting adalah mengkolaborasikan seluruh breakdown shot yang telah dimiliki, dengan semua data yang berhasil dihimpun selama melakukan recce. Hal ini juga perlu dikomunikasikan dengan para subjek yang akan terlibat dalam shooting film tersebut. Sehingga mereka bisa memastikan keberadaan masing-masing di lokasi yang sesuai dengan rencana shooting pada waktu yang telah disepakati. Ingat, untuk banyak daerah, khususnya di wilayah pedesaan dan wilayah terpencil, pemaknaan waktu adalah bersifat arbiter. Sehingga perlu untuk menjelaskan secara detail hari dan jam shooting akan dilakukan. Walaupun pada kenyataannya, sewaktu melakukan shooting kita akan sangat bergantung pada kondisi dan ketersediaan waktu dari para subjek, namun pastikan mereka memahami bahwa waktu sangat berharga bagi tim produksi. Dan sebaliknya, kitapun harus bisa menghargai kesediaan mereka meluangkan waktu. Itu sebabnya, setiap produksi harus memiliki jadwal produksi berupa shot-shot seperti apa yang akan dilakukan dari hari ke hari. Dan yang lebih penting lagi, mengkomunikasikan jadwal tersebut kepada semua kru dan subjek yang akan terlibat.

Jadwal produksi itulah yang akan menjadi panduan bagi semua kru untuk melakukan tugasnya dari hari ke hari. Selain itu, jadwal produksi ini bisa menjadi semacam check list, shot-shot apa yang sudah dan mana yang belum didapat. Biasakan untuk menyediakan satu atau dua hari dari masa produksi untuk melakukan pick-up shot, atau shot-shot tidak direncanakan sebelumnya, namun muncul pada saat produksi berlangsung. Selain itu, terutama untuk produksi dengan kurun waktu yang cukup panjang, dua minggu misalnya, sediakan hari libur di antara masa produksi tersebut. Ingat, dalam produksi film dokumenter, setiap hari sutradara dan produser harus bisa mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi di lapangan. Akan banyak data-data baru muncul yang juga menarik dan relevan dengan alur cerita yang sudah dibangun sebelumnya. Singkat kata, setiap saat, sutradara dan produser harus bisa mengantisipasi setiap perkembangan yang ada. Jadi setiap saat sutradara dan produser harus berpikir keras membangun dan membangun kembali cerita yang telah dipersipakan sebelumya. Demikian pula dengan anggota kru lainnya. Kamerawan dan penata suara juga bisa mencapai titik jenuh dalam menjalani produksi untuk kurun waktu yang panjang. Itu sebabnya, perlu ada liburan. Hari ke tujuh dari 14 hari masa shoting bisa menjadi hari yang baik untuk keluar dari seluruh kesibukan produksi. Ada baiknya hal ini direncanakan dalam jadwal produksi. Cari lokasi yang lain sama sekali dengan suasana di lokasi shooting. Pergi ke keramaian kota yang memiliki hiburan malam yang atraktif bisa membuat suasana liburan yang benar-benar menyegarkan bagi kru yang sehari-harinya harus shooting di desa yang terpencil.

Sejak masa praproduksi, sebaiknya sudah direncanakan pula bagaimana pascaproduksi akan dilakukan. Perlengkapan editing seperti apa yang akan digunakan, siapa editornya, berapa waktu yang dibutuhkan untuk setiap draft atau rough cut-nya, berapa lama fine cut akan diselesaikan. Perlengkapan online editing seperti apa yang dibutuhkan. Tentu saja hal ini berkaitan dengan tuntutan output dari film yang akan diproduksi. Ini sangat berpengaruh terhadap bujet film secara keseluruhan. Ingat, biaya editing bukanlah biaya yang kecil. Buat jadwal pascaproduksi serealistis mungkin sehingga besaran biaya yang perlu dikeluarkan selama tahap ini bisa direncanakan dengan baik.

0 komentar:

Posting Komentar